Senja Untuk Tamala

Senin, 10/09/2018 - 12:23
Ilustrasi
Ilustrasi

Oleh: M Bisri Mustofa

Ketika kesenduan ini enggan pergi, aku segera menepi, mengunjungi Pelabuhan Lama Malabero dan menampikkan diri di ujung DAM Tapak Paderi demi mengadu asa pada Senja yang menerka. 

Sore itu tak satupun orang kutemui mengadu sesegukan seperti biasanya. Hanya camar-camar dan deburan ombak memecah kesunyian hatiku. Di sini, aku menatap tajam pada senja itu. Segera terbayang rona wajahmu seiring merah jingga yang menyapu diksi semesta hingga melarut-redamkan amarahku.

Hampir sebulan terakhir aku tak pernah lepas dari pesakitan yang terus mendera. Dengan luka menganga, kau tinggalkan rasaku di ambang kasih sayang yang terus bertanya,”mengapa kita dipertemukan bila akhirnya rasa berterus-terang dengan ketiadaan?".  Padahal, jika kau tau sedikit saja, aku sudah melupakan segala kenangan terburuk sekalipun tentang kisah kelam kita. Kau khususnya. Karna, kala itu aku menemuimu tengah berada di beranda kehancuran. Kau tak pernah sadar bukan, bagaimana kerasnya benturan yang datang kepadaku kala mengangkatmu terbangun kembali. Kau tidak tahu bahwa aku jauh lebih sakit kala itu, permasalahan studi, asmara, dan keluargaku sendiri sedang berantakan. Namun perlahan aku bangkit demi namamu dan juga namaku. Sedang kini kau lupa menaruh kasih lantas menggadaikannya kepada sesuap nominal.

Mataku sembab menahan jatuhnya deraian air mata. Biar bagaimana pun, lelaki sekuat apapun, jika hati dan harga dirinya sudah dilukai oleh kecintaannya pada seorang wanita, tak akan urung mata memerah dan melukiskan rasa kecewa. Tangis khianat. Menahan amarah yang membuncah. Entalah. 

Bagaimana mungkin orang yang sudah sekian lama dinaungi kasih sayang sepertimu, tiba-tiba memberontak dan membunuhku dengan sayatan kecil yang takkan pernah hilang lagi. Aku ingat persis alasanmu menjatuhkanku dengan tuduhan-tuduhan yang tidak normatif dan mengharuskanku menelan ludah. Katamu adalah kataku seharusnya.

Kau menyangka bahwa aku telah menaruh rasa kepada wanita lain yang baru saja kukenal. Padahal, justru sebaliknya, bukan.  Aku sudah lama mendiamkanmu berkelakar dengan tuduhan-tuduhan itu. Sudah hampir sebulan, aku melihatmu setiap minggu datang ke tempat di mana hanya kita berdua yang bisa membaca dan memahami hangatnya senja di Malabero, jauh dari hiruk-pikuk Kota Bengkulu yang selalu meninggalkan keluh-kesah di perantauan, kota kelam dengan sentuhan ambigu dan samar. Di tahun kelima hubungan kita, akhirnya harus kandas bagai dentuman ombak yang menerpa DAM  pembatas Pantai Malabero itu.

Aku mengira kita akan tetap bersama menjalani senja-senja diafan hingga waktu benar-benar mempersatukan hubungan ini. Dengan ikatan sah tentunya.

Apakah kau ingat, ketika pertamakali aku mengenalkanmu pada keindahan senja di Malabero. Saat di mana waktu itu kau tengah merintih kesakitan karna dikhianati sahabatmu sendiri, dan aku datang dengan latarbelakang yang sama, mengenalkan arti kesepian yang amat damai. Senja itu, walau berkarat-karat, ia tetap tegar menepiskan rasa gundah. Rindu yang hampir tak pernah letih menyingahi, hingga akhirnya pupus tenggelam bersama merah jingga yang kusebut Rona Teras Senja. Dan setibanya kau di sini bersamaku, sejauh ini, senja itu kian teduh menjadi teras peraduan. Hampir tak ada drama, tak ada kebohongan, tak ada pula kontemplasi. Dan akhir cerita kau menghapuskan keraguanku menatapmu.

Namun,  mengapa tiba-tiba kau mengenalkannya pada yang lain. Orang asing yang kau sebut teman itu mengenalmu lewat cerita senja yang kutanam sekian lama. Kau runtuhkan atap semesta dengan kebohongan disertai kata-kata profokasi dan kini kau berbalik menyerangku dengan sebongkah tuduhan palsu. 

Baiklah, jika memang demikian akhirnya. Aku mengalah dan tak akan kembali lagi mengungkit masa lalu. Tentangmu, juga tentangku. 

---

Matahari mulai benar-benar tenggelam. Kudengar sayup-sayup namamu juga terdampar di sisinya. Ah, andai saja senja Malabero ini tak seindah cerita kita kemarin, pasti sudah kusempatkan menggenggamnya, kukantongi di dalam saku dan kubawa pulang ke rumah untuk kukenalkan suatu saat kepada anak-anakku. 

Pucuk ranumnya menggeliat menyisakan kenang di Pantai Malabero. Tidak ada esok hari di sini, tidak ada juga sapa yang akan kembali kugali. Kuhempaskan seluruh ketiadaan ini agar aku lekas lupa dengan semua yang kusebut Khianat.

Esok aku akan segera pergi meninggalkan Kota Bengkulu yang lugu. Jelas kuindahkan segala cita-cita dan cinta yang pernah terbenam di dalamnya. Kota Bengkulu yang ketika kusapa menjadi ibu dan rumahku, dan guru beserta ladang ilmu yang tak akan pernah mati kubawa. Entah di tempat baruku nanti, atau mungkin juga ketika aku mendidik anak-anakku dengan kesenduan Kota penuh luka.  

Tamala, kutitipkan seribu ceritera senja kepadamu. Jangan kau ceritakan di mana letak kebahagiaanku bersamamu. Karna dalam bentuk puing kerinduan ini, aku tak akan mungkin kembali menyadurnya menjadi bulatan angka genap di jari kita.

Tags

Related News