BAJU

Sabtu, 18/08/2018 - 14:05
ilustrasi
ilustrasi

Oleh: M Bisri Mustofa

Setelah aku memasuki masa kuliah, aku sedikit terangkat oleh intensitas kostum yang selama ini hanya kuanggap sebagai kebutuhan primer saja. Namun setelah aku sadar, pada masa ini, aku menemukan "baju" sebagai sebuah identitas.


Perkenalkan sebelumnya, namaku Angga, seorang mahasiswa tingkat akut yang sedang mencari-cari jalan keluar dari sebuah identitas yang masih terkurung.


Kuceritakan pada masanya, aku mengalami sejuta diagnosa kala berada pada alam kebebasan berfikir, berposisi sebagai seorang mahasiswa. Ada semacam “ancaman” yang kualami dari identitas konstum yang selalu kupakai. Bagaimana sebuah "baju" yang selalu kuidam-idamkan sebagai status keanggotaan, selalu saja bersimbol sial dan, byiuuur, tenggelam pada sebuah kekosongan.


Kisah ini bermula ketika memasuki semester awal, fase belia seorang mahasiswa yang selalu mengharapkan sebuah kedudukan, disegani, dan diakui sebagai anggota sebuah intansi. Bayangkan saja kala itu, “baju” yang sebetulnya adalah almamater, yang selalu kupakai sebagai kebesaran universitas, dengan pede kupakai sebagai tanda “aku adalah seorang mahasiswa”, meminta penghargaan dari kalangan masyarakat bahwa aku adalah sebagai penerus bangsa ini. Tanpa tanda kutip maupun tanda tanya.


Ya, aku seorang mahasiswa. Sampai pada akhirnya aku bosan dan enggan memakainya lagi, karena memang, pada dasarnya tidak ada lagi intensitas dari status mahasiswa yang dahulu pernah diakui kuantitas, kualitas, dan eksistensinya sebagai pengendali kedaulatan negara, menggulingkan kebohongan orde baru menuju masa reformasi. Mahasiswa diakui sebagai ujung tombak pergerakan aspirasi rakyat.


Memasuki semester kedua, aku sudah kalut dan enggan memakai almamater, dan kali ini aku berinisiatif meningkatkan derajatku, beralih dengan bergabung pada sebuah instansi organisasi universitas, Organisasi Mahasiswa Sastra se-Indonesia, dan aku menduduki sebagai posisi wakil ketua secara tak kuduga-duga. Jelas sebuah kehormatan dan kebanggaan tersendiri bagiku, di mana tidak semua orang bisa sembarangan dipercaya sebagai kandidat terpilih pada sebuah institusi, walau hanya serikat mahasiswa sekalipun.


Namun, setelah memasuki bulan kelima sebagai wakil ketua OMSI, aku sama sekali tak merasakan peranku dalam organisasi ini berpengaruh bagi semua anggota. Terlebih pada jalannya pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang sudah lama kami kerjakan. Semua orang berperan sesuai kordinasi dan arahan ketua, dan aku, hanya sedikit saja diberlakukan sebagai seorang wakil ketua. Dengan segala kesibukan dan hiruk-pikuk agenda, aku dibutuhkan hanya ketika ketua sekarat sudah tidak mampu, pun kalanya ada dua agenda yang secara bersamaan berlangsung, dan akulah orang yang tepat disebut sebagai suku cadang. Tidak ada wewenang secara utuh, mematikan karakterku seagai seorang idealis.

Setelahnya, aku memilih mundur. Selain aku memperhitungkan posisi yang lebih subtansif dalam berperan, aku sedikit terkurung dalam ruang gerakku. Aku tidak sebisanya bebas bersosial, karna pada dasarnya hal tersebut dikungkung oleh keberadaan berorganisasi. Walaupun bisa, aku menjalani berorganisasi secara majemuk dengan diam-diam dan tak bebas. Dan pada akhirnya akupun ketahuan membelot.


Di pertengahan masa studiku, aku mulai dihadapkan pada masa-masa sulit mengatur keuangan. Normal rasanya. Dan aku mulai kelu ketika harus berdiam diri meratapi kemonotonan ini, meminta dan menengadah oleh kekuatan orang tua. Akupun berkilah menjajal ruang gerakku keluar setelah lama vakum dari kesibukkan berorganisasi. Inisiatif awal adalah menjajal diri sebagai pekerja lepas atau serabutan.


Aku menjalani berbagai pekerjaan dengan berposisi sebagai karyawan toko, kuli bangunan, agen pemasaran, tukang kebun, penjual gorengan, ojek online, bahkan seorang kurir. Dari kesemuanya itu, ada sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Aku menemukan sebuah titik temu antara kebebasan dan kewenangan. Ada harga-harga yang kutemukan dari semua usahaku; petemanan, pematangan mental, beradab dan bersosial, disiplin, peduli, dan lain semacamnya yang justru tak kutemukan pada lingkungan kampus. Jatuh bangun dalam bisnispun kucoba dengan suka cita. Walau labelnya adalah belajar, hal tersebut justru memakiku ke arah yang lebih serius lagi. 


Ketika kita dihadapkan pada sebuah konsolidasi bisnis, kita akan banyak menemukan karakter yang tidak semua orang tahu pada bidang tersebut. Maksudku begini, aku pernah bekerja pada sebuah perusahaan komputer berposisi sebagai agen penjualan. Dalam keseharianku, aku bertugas menempel-nempel brosur dan datang ke kantor-kantor untuk menawarkan produk komputer yang kami jual. Hal tersebut disetarakan sebagai fasetreaning, dan bila masanya berhasil, posisiku akan dinaikkan. Nyatanya, dari sekian banyak orang yang kutemui, hanya orang yang pernah berposisi sebagai diriku saja yang menghargai dan antusias berkomunikasi meski hanya basa-basi, walau memang tidak membeli, dan lain daripada orang sepertiku; up no coment.


Mereka, para bos-bos yang sebenarnya bukan bos beneran, melihatku dari jauh sudah mengisyaratkan kejijikkannya. Gestur tubuhnya menolak keberadaan agen penjualan sepertiku, seperti halnya salesman yang tidak ada harganya dalam masyarakat. Hal ini layak dipertanyakan, kenapa saat aku memakai "baju karyawan" ini, banyak orang menghargainya sebagai sampah masyarakat, tak ada harganya, mengganggu bak hama. Lain hal bilamana yang datang adalah setingkat-duatingkat posisinya di atasku. Mereka otomatis menerima, dan ber-etika sebaliknya, menjadi yang membutuhkan. Keberadaanku sebagai pejuang nominalpun secara perlahan kualihkan sebagai seorang pembisnis, dan tidak berjalan lama, aku kembali bosan.


Dua bulan setelahnya, aku memutuskan untuk risen. Walau keadaan ekonomiku masih tidak tercukupi, aku berupaya mencoba hal-hal baru yang sifatnya lebih liberal, tidak ada tekanan dalam bekerja.


Aku sedikit memutar otakku mengenai pekerjaan apa yang layak dan dihargai. Seminggu lamanya aku mencari referensi, dan akhirnya aku memutuskan untuk  bergabung bersama sebuah partai politik. Tampaknya keren, dan pastinya aku bakal dipandang oleh semua orang. "Tapi, ini kan bukan pekerjaan? " Tanya seorang temanku pada suatu waktu.


“Memangnya, memperjuangkan nasib rakyat, bukan sebuah pekerjaan mulia? Walau bagaimanapun, gaji seorang anggota parpol, cukup untuk sekedar menutupi kebutuhanku di kampus,” sergahku.


“Dan juga, aku mendapatkan dua posisi yang berguna dalam hidupku. Pertama, mandiri mencukupi kebutuhan hidup dan tetap kuliah, yang kedua, aku ikut berperan dalam memperjuangkan nasib rakyat. Semampuku pastinya.”


Benar adanya, aku terlihat menjadi seseorang yang diaspirasikan masyarakat. Sebagian besar kulihat mereka mendukungku untuk terus berjuang. Semua terlihat nyata. Dalam berbagai pertemuan, mereka begitu mendengung-dengungkan partai kami. Mereka mengagung-agungkan perjuangan kami, perjuangan yang sebenarnya terlalu lama kurasakan. 2 tahun sekali. Dalam pemilihan kepala negara, dan daerah.


“Uhh, yang aku butuhkan adalah integritas instan dan berkesinambungan, nyata secara terus menerus, bukannya kapan-kapan. Bukan lama seperti ini. Toh, yang merasakan langsung apresiasinya adalah antara pimpinan partai, maupun masyarakat sendiri. Itupun dalam jangka waktu yang lama. Entah benar tidaknya dalam sebuah partai memiliki peran penting dalam memangku dan mensejahterakan masyarakatnya.” Bayang-bayang kecemasan dalam memperhitungkan baik buruknya berkoalisi memecahkan konsentrasiku. Aku berfikir secara tegas, bahwa hal tersebut menutup kemungkinan, aku yang harusnya memberi warna pada orang lain, malah sebaliknya diwarnai oleh orang lain.


Tapi, setelah kusadari, muasal tumbuhnya kesenjangan sosial adalah berawal dari politik. Negeri ini serasa terpecah-pecah oleh koalisi partai yang begitu banyak, dan menghasilkan ruang-ruang gerak demokrasi menjadi bertepuk sebelah tangan. Pro dan kontra pendukung dan non pendukung, terlihat nyata. Lagi-lagi tidak ada sebuah harga dalam sebuah koalisi politik. Begitu akhirnya aku menanggalkan "baju partai" yang kupakai dalam satu tahun terakhir.


Dan, sampai pada akhirnya, aku bertatap muka bersama arti mencari jati diri. Aku bukan seorang mahasiswa yang abadi, aku bukan seorang buruh yang pekerja keras, aku bukan juga seorang aktivis maupun petugas partai, dan selanjutnya, aku tak ingin menjadi seorang pejuang jasa yang kadang dihargai dan kadang tidak.


Aku ingin bebas disebut dengan namaku. Nama kebesaran yang aku bawa dari lahir. Tanpa ruang-ruang sempit, dan diorama ketakutan atas wewenang, serta kegelian dalam menaifkan hidup.


Aku ingin bebas atas “baju” yang kukenakan saat ini, nanti, esok dan seterusnya, tanpa orang memandangku terbatas, mendekati tanpa ada jarak, menyalami tanpa ada niat, menyapa dengan tanpa  persepsi, bahwa aku bukan berdasarkan “baju” yang aku kenakan.

Kali ini, aku akan berpegang teguh dengan definisi “baju kebebasan”, aku pilih profesi yang tepat dan nikmat, sebagai penulis atau penyair misalnya. Bahkan, penyairpun berbicara baju bukan dengan diksi maupun majas yang lugas, melainkan dengan metafora yang halus, dan sebercanda hidup ini. Bagiku, itulah baju yang tepat untuk kukenakan.


. . .

Tags

Related News