Besurek

Selasa, 27/11/2018 - 04:51
batik besurek
batik besurek

M Bisri Mustofa

Entah di mana asal-muasal aku dilahirkan. Sejak kecil aku hanya dirawat oleh seorang tua yang kusebut dengan Nek Rumi. Katanya, ayahku mati ketika para pelancong Inggris menyambangi Bencollen, dengan misi berdagang dan mencari kekayaan tersembunyi dari negeri pertiwi. Ibuku, juga tidak tau kemana rimbanya pasca umurku berada di tahun ke-2. 

Aku adalah seorang yatim piatu, meski aku berharap ibuku adalah seorang yang bernama pertiwi, nama yang tetap hidup sampai saat ini, dan suatu saat aku bisa memeluk raganya. 

Namaku Raden Ali Saujana. Nama yang diberikan nenekku saat aku berumur 3 tahun. Awalnya aku bernama Ahmad Hanafi, namun karena nenek sangat membenci ibu yang pergi tanpa permisi dan kabar, akhirnya ia menghilangkan nama tersebut sebagai identitasku. 

Umurku sendiri saat ini 23 tahun. Seorang yang beranjak menuju fase dewasa, dengan segala keruwetan hidup, menjamahi intonasi hidup yang lebih keras dari sebelumnya.  Dan aku yakin, ada hal yang tak kalah menarik dari sekedar meratapi keyatimanku. Ada Tuhan, dan Nek Rumi yang mampu mengenalkan kebijaksanaan hidup ini. 

Negeriku adalah negeri kolam susu. Lagu yang kuingat betul sampai saat ini, adalah pada lirik ‘tongkat, kayu, dan batu jadi tanaman’. Rahasia Tuhan kala menjadikan Nusantara sebagai surga tersembunyi. Di negeri ini, aku menemukan ribuan kekayaan alam dan juga kebudayaan yang indah, walau akhirnya kusebut sebagai karya Tuhan. Hampir setengah perjalanan sejarah Indonesia, terhampar dan tumbuh kembang di pulau Rafflesia, nama samar dari Negeri Bencollen yang sekarang bernama Bengkulu. 

Selain membunuhi keperkasaan Ayahku beserta Imam Alibasyah dan pasukannya, ada untungnya kolonial Inggris sampai hati menjejali pulau Bencollen dengan keramahtamahan juang.  Hampir semua jejak rekam yang ada, menjadi simbol bahwa pulau ini adalah ruang kelas untuk belajar menghargai sejarah.   Aku suka dengan gaya kolonialisme yang terkesan kreatif, bahkan nyentrik dan manipulatif. Sehingga seratus tahun lagi, keberadaan Bencollen akan tetap hidup di mata Indonesia.

Setelah aku dewasa, aku belajar dari siapapun yang menghargaiku sebagai seorang pendengar. Mereka mengatakan aku adalah pendengar terbaik. Dalam siatuasi apapun, bagaimana kondisi dan ruang tempatnya, aku selalu menjadikan pembicaraan mereka sebagai sumber ilmu. Pengalaman hidup adalah guru instan dan harus aku praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Aku tau, ada banyak cara untuk bisa belajar, tidak melulu melalui lintas akademik, intansi dan ruang intelek. Semua bisa kupelajari, entah itu di pasar, di majelis imu, dalam tata ruang kumuh bahkan mencekam sekalipun. Lewat politik gaya baru, milenialisasi, ekonomi. Ada arah sebagaimana kompas menunjukkan jalan, dan angin memberikan kerindangan. Apabila kita bersyukur dengan segala ritme hidup.

Semua sisi manusia kasih dan sayang menciptakan sebuah karakter yang kusebut kebudayaan. Dari situlah aku belajar dan berkembang dewasa. Di tengah masyarakat ‘nuasa’, dan mencintai setiap ruang gerak Indonesia menjadi semakin berwarna. Tanpa perbedaan.

*

Bengkulu. Aku lahir di pulau Rafflesia yang kaya akan kebudayaan intelektual. Potensi alam begitu melekat, dan tatanan hidup masyarakat selalu bisa dihandalkan. Mereka semua berdampingan dengan ramah-tamah.

Suatu ketika, aku pernah menyinggahi Balai Budaya. Aku lupa namanya. Yang paling jelas kuingat adalah asal-muasal baju batik yang kukenakan sebagai simbol budaya daerah, terpampang banyak di sana. 

Berbagai macam corak, mulai dari tulisan arab sampai gambaran bunga bangkai atau lebih dikenal dengan bunga rafflesia tergambar di bentang kain katun.   

Seperti yang disebutkan oleh pembatik yang kutemui, Bu Tik, Batik Bengkulu atau disebut Batik Besurek, tumbuh mengakar dan menjadi sebuah kebanggaan kebudayaan Bengkulu sampai pada masanya nanti. 

Asal usul dinamakan Batik Besurek dikarenakan batik ini menggunakan motif-motif bertuliskan kaligrafi Arab. Kata Besurek berasal dari bahasa Melayu dialek Bengkulu yang artinya bersurat atau tulisan. 

Sebutan tersebut bukan tanpa alasan, melainkan karena sebagian motifnya dibuat dengan huruf Kaganga atau huruf asli Bengkulu, dan kaligrafi Arab. Bahkan ada yang motifnya mengambil potongan ayat suci Al Quran. Namun, batik jenis ini tidak boleh sembarangan dipakai. Biasanya hanya dipergunakan sebagai pajangan atau keperluan adat saja.

Batik yang kini tampil khas dengan warna-warna terang punya sejarah yang menarik untuk ditilik.

Bu Tik menceritakan betapa Batik ini sudah timbul di abad 16. Kala itu Islam sudah mulai berkembang pesat di daerah Bengkulu. Kebudayaan Islam sangat berpengaruh pada perkembangan seni budaya di Bengkulu, sehingga banyak sekali rekam jejak yang berhasil menanggalkannya dan ditangguhkan menjadi kebudayaan asli.


Ada pula yang menyebutkan bahwa awal mula batik besurek hadir di Bengkulu dimulai saat panglima Pangeran Diponergoro, Sentot Alibasyah hijrah bersama sanak saudara dan para pengikutnya. Namun pada kaidahnya, Bu Tik jelas menceritakan berdasarkan pendengaran dan pengalamannya yang ia terima. 

“Dulu, Pangeran Sentot, suka sekali menulis kaligrafi di kulit kerbau yang sudah dikeringkan,” ujar Bu Tik suatu ketika.

Menurut Bu Tik, pemikiran ini muncul lantaran pada masa awal dulu, masyarakat Bengkulu yang pertama kali menggunakan dan membuat batik Besurek tak lain merupakan keturunan Sentot Alibasyah.

Tak banyak yang tau jika dahulu, batik Besurek hanya dikenakan pada kesempatan tertentu seperti pada upacara-upacara adat saja. Namun saat ini, Batik Besurek sudah barang jadi merupakan ikon dan kebanggaan masyaarakat saat mengenakannya. Bukan lain hal, jika saat ini pemakaian batik di kalangan umum, sudah jadi kebiasan.

Seiring perkembangan zaman, muncul batik Besurek modern yang berhiaskan huruf Arab tanpa memiliki makna ayat suci, sehingga dapat digunakan untuk acara sehari-hari.

Setelah aku menelusuri dan penasaran terhadap Batik Besurek, akhirnya aku mendapati sumber yang mana ada tujuh jenis motif batik Besurek. 

Dua motif utama adalah motif kaligrafi yang diambil dari huruf-huruf Arab dan batik bermotif padma raksasa khas Bengkulu. Batik dari bumi Rafflesia ini juga memiliki motif burung kuau yang berupa rangkaian huruf-huruf kaligrafi. Ada pula motif relung kaku dengan bentuk meliuk-liuk seperti tumbuhan paku. Terakhir, motif rembulan yang merupakan perpaduan antara gambar bulan dengan motif kaligrafi. Begitu informasi yang kudapati dari sebuah buku budaya daerah.

Cerahnya warna-warni batik Besurek rupanya tak mampu membuatnya bertahan di tengah gerusan batik cetak. “Pasalnya, jika generasi muda di Bengkulu tak lagi tertarik menjadi pembatik, maka lambat laun produksi batik Besurek akan menemui senja kala”, pesan Bu Tik padaku.

*

Bengkulu, November 2018

Related News