Foto : www.freepik.com
Oleh : Egha Ramdhani /Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta
Klikwarta.com - Setiap tahun, tradisi "mudik" di Indonesia menjadi momen yang dinanti-nanti dengan penuh harap oleh masyarakat yang merantau jauh dari kampung halaman. Istilah ini berasal dari kata "Mulih Dhilik" dalam bahasa Jawa Ngoko, yang tidak hanya sekadar pulang sebentar ke kampung halaman, tetapi juga memancarkan rasa kerinduan mendalam akan akar budaya dan kebersamaan keluarga. Dalam konteks sejarahnya, tradisi ini sudah berakar sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam, menjadi simbol kekuatan kebersamaan, silaturahmi, dan warisan budaya yang turun-temurun.
Ketika orang-orang kembali ke desa halaman untuk merayakan hari besar atau melakukan ziarah ke makam leluhur, mereka tidak hanya membawa pulang kenangan hangat masa kecil, tetapi juga membangun kembali hubungan yang erat dengan keluarga dan komunitas mereka.
Di seberang Indonesia, tradisi serupa juga memiliki makna yang mendalam dalam masyarakat setempat. Contohnya di Malaysia, Sebelum Hari Raya Idulfitri, tradisi "balek kampung" menjadi ritual yang membawa keluarga besar bersatu kembali dalam sebuah perayaan penting dalam kehidupan mereka. Tradisi ini dilaksanakan sejak seminggu sebelum Hari Raya Idulfitri tiba.
Di Turki, momen Seker Bayram diisi dengan berziarah dan saling bersilaturahmi dalam skala besar, mempererat tali persaudaraan dan kebersamaan di antara masyarakat setempat. Begitu juga di Mesir, di mana tradisi mudik mengalami puncaknya saat perayaan Hari Raya Idul Adha, menggambarkan solidaritas umat Muslim dalam merayakan momen agung ini bersama-sama. Sementara di India, momen perayaan Diwali menjadi waktu berkumpulnya keluarga-keluarga untuk memperkuat hubungan dan membangun kembali ikatan sosial yang erat.
Bagi pemudik Indonesia, perjalanan ini tidak sekadar tentang mencapai tujuan geografis; ia juga merupakan perjalanan emosional dan spiritual yang melibatkan persiapan matang serta menghadapi berbagai tantangan. Mulai dari mempersiapkan kendaraan hingga mengatasi kemacetan lalu lintas yang panjang, semua dilakukan demi merayakan momen berharga bersama keluarga tercinta di kampung halaman.
Sebagai fenomena sosial dan budaya, mudik juga mengandung makna simbolik yang dalam. Menurut Clifford Geertz, praktik budaya seperti mudik tidak sekadar perpindahan fisik dari satu tempat ke tempat lain, tetapi juga merupakan ritual yang memperkuat ikatan sosial, spiritual, dan budaya dalam komunitas.
Dengan memahami nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi mudik, kita dapat lebih menghargai betapa pentingnya silaturahmi, kebersamaan, dan keberagaman dalam membangun serta memelihara identitas budaya kita sebagai masyarakat Indonesia yang beragam dan multikultural. Tradisi ini bukan hanya tentang momen individu untuk bersama keluarga, tetapi juga menggambarkan kekuatan dan kekuasaan kolektif kita sebagai bangsa yang bersatu dalam perayaan dan nilai-nilai yang kita anut bersama.
Dalam setiap langkah perjalanan, dari rumah ke desa, setiap pemudik membawa serta cerita hidupnya, pengalaman, dan harapan akan masa depan yang terwujud dalam momen bersama di kampung halaman.
Terlepas dari tantangan dan hambatan yang mungkin terjadi selama perjalanan, semangat dan kegembiraan pemudik tidak pernah pudar. Mereka menghadapi perjalanan yang panjang dengan penuh ketabahan dan kesabaran, karena mereka tahu bahwa di ujung perjalanan itu menanti kebahagiaan dan kebersamaan dengan orang-orang tercinta.
Tradisi mudik bukan sekadar pergerakan fisik, melainkan juga sebuah peristiwa budaya yang memperkaya dan memperkuat identitas nasional. Dalam era globalisasi ini, tradisi seperti mudik menjadi penting dalam melestarikan nilai-nilai tradisional dan menjaga kebersamaan serta solidaritas di tengah dinamika modernisasi yang terus berkembang.