Budaya Populer Sebagai Magnet Wisata Global: Despar UKSW Hadirkan Perspektif Dunia dalam Webinar Internasional

Senin, 20/10/2025 - 10:32
Program Studi D4 Destinasi Pariwisata (Despar), Fakultas Interdisiplin Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) menggelar International Webinar

Program Studi D4 Destinasi Pariwisata (Despar), Fakultas Interdisiplin Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) menggelar International Webinar

Klikwarta.com, Salatiga - Musik, festival, film, K-Pop, hingga olahraga kini tak lagi sekadar hiburan, namun sudah menjelma menjadi kekuatan global yang membentuk arah pariwisata dunia. Fenomena inilah yang menjadi sorotan Program Studi D4 Destinasi Pariwisata (Despar), Fakultas Interdisiplin Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), melalui penyelenggaraan International Webinar bertajuk “Popular Culture as a Destination Magnet: Music, Events, and Tourism”, belum lama ini secara daring. 

 

Kegiatan yang diikuti oleh 101 peserta dari UKSW, Podomoro University, dan BINUS University ini menghadirkan narasumber ternama, Profesor John Connell dari University of Sydney, dengan Linda Susilowati, Ph.D., dosen FID UKSW, bertindak sebagai moderator. 

 

Hadir pula Dekan FID UKSW, Aldi Herindra Lasso, S.Pd., M.M.Par., Ph.D., serta sejumlah akademisi lintas kampus seperti Wakil Rektor Bidang 1 Podomoro University Dr. Michael Aswin Winardi, M.Par., Dosen pengampu Mata Kuliah Event Management Dr. Santi Palupi Arianti, M.M., dan Anwar Basalamah, B.Sc., M.Par, serta Jaeysen Kanily, S.Bns., MBA. Sementara itu, dari BINUS University turut hadir yaitu yaitu Head of Tourism Destination Department BINUS Hana Ulinnuha, S.ST., MSc., dan Dianka Wahyuningtias, SST.Par., M.M.

 

Dalam sambutannya, Dekan FID UKSW, Aldi Herindra Lasso, menegaskan bahwa budaya populer memiliki cara unik dalam membentuk persepsi destinasi wisata. “Sebuah film dapat membuat tempat terasa akrab dan layak dikunjungi, sementara musik atau olahraga mampu mengubah wajah kota dan memengaruhi perencanaan wilayah,” ujarnya.

 

Ia juga mengingatkan pentingnya mempertimbangkan aspek keberlanjutan dan dampak sosial dari fenomena tersebut. “Besarnya arus kunjungan akibat event berskala global menuntut kita untuk terus menanyakan, bagaimana kita merancang masa depan pariwisata yang berkelanjutan,” tandasnya.

 

Budaya Populer dan Jejaring Akademik Global

Dalam wawancara, Ketua Program Studi D4 Destinasi Pariwisata UKSW, Rini Kartika Hudiono, S.Pd., M.A., menjelaskan bahwa ide besar webinar ini lahir dari pengamatan terhadap fenomena global popular culture-driven tourism, di mana musik, film, olahraga, dan figur publik menjadi daya tarik baru bagi wisatawan.

“Budaya populer kini bukan sekadar hiburan, melainkan sarana membangun koneksi emosional antara wisatawan dan tempat. Contohnya, Elvis Festival di Parkes, Australia, menjadi bukti bagaimana ikon budaya mampu menggerakkan ekonomi dan memperkuat identitas lokal,” terang Rini Kartika Hudiono.

 

Kerja sama dengan University of Sydney, lanjutnya, terjalin melalui jejaring akademik dosen FID UKSW, Linda Susilowati, Ph.D., yang baru menyelesaikan studi doktoralnya di universitas tersebut. Melalui koneksi ini, UKSW berkesempatan menggandeng Profesor Connell, seorang pakar cultural geography dan festival-led regional development untuk berbagi perspektif global.

“Kehadiran beliau memberikan wawasan yang sangat relevan dengan konteks Indonesia, di mana pariwisata kini bertransformasi dari sekadar ‘melihat tempat’ menjadi ‘mengalami cerita,’” imbuhnya.

 

Rini menegaskan bahwa kegiatan ini menjadi bagian dari strategi internasionalisasi Program Studi Despar UKSW. Melalui dialog akademik lintas negara, mahasiswa dan dosen diharapkan mampu menghubungkan teori global dengan praktik lokal.

“Internasionalisasi bagi kami bukan sekadar menghadirkan narasumber luar negeri, tetapi membangun jembatan riset dan kolaborasi lintas budaya. Ke depan, kami akan mengembangkan riset bersama University of Sydney, publikasi internasional, hingga integrasi materi webinar dalam kurikulum Despar,” ujarnya.

 

Ia menutup dengan harapan agar kegiatan ini menumbuhkan semangat berpikir lintas batas. “Kami ingin mahasiswa berani melihat dunia dari kacamata yang lebih luas, namun tetap berpijak pada akar budaya sendiri. Karena dari sinilah lahir destinasi yang bukan hanya indah, tetapi juga bermakna,” pungkasnya.

 

Musik, Film, dan Olahraga: Narasi Baru Pariwisata

Dalam pemaparannya, Profesor John Connell menjelaskan bagaimana berbagai festival di Australia mulai dari Splendour in the GrassFestival of the Falling Leaf, hingga Beer dan Film Festivals telah menjadi motor penggerak pembangunan wilayah pedesaan. Ia menyoroti peran festival dalam membangun komunitas, memperkuat ekonomi lokal, dan menumbuhkan rasa memiliki antarwarga.

“Festival dapat menjadi jantung sosial bagi sebuah komunitas. Ia mempromosikan tempat, menghidupkan kreativitas, dan menciptakan ruang bagi partisipasi masyarakat,” ungkapnya.

 

Melalui riset Australian Research Council Discovery Project, Profesor Connell juga menyoroti tantangan yang muncul seiring pertumbuhan industri festival, seperti konflik identitas dan profesionalisasi yang berpotensi menggeser nilai-nilai lokal.

“Keunikan sebuah festival adalah kekuatannya. Kadang, sesuatu yang ‘aneh’ justru menjadi daya tarik tersendiri,” ujarnya menutup paparan dengan senyum hangat.

 

Webinar ini selaras dengan semangat Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), dan berkontribusi pada SDGs 4 pendidikan berkualitas, SDGs 8 pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi, serta SDGs 17 kemitraan untuk mencapai tujuan. Inisiatif ini juga mencerminkan arah Asta Cita ke-6, terutama dalam mewujudkan internasionalisasi pembelajaran dan penguatan jejaring riset lintas disiplin.

 

Sebagai Perguruan Tinggi Swasta (PTS) terakreditasi Unggul, UKSW telah berdiri sejak 1956 dengan 15 fakultas dan 65 program studi di jenjang D3 hingga S3, dengan 34 Prodi Unggul dan A. Terletak di Salatiga, UKSW dikenal dengan julukan Kampus Indonesia Mini, mencerminkan keragaman mahasiswanya yang berasal dari berbagai daerah. Selain itu, UKSW juga dikenal sebagai "Creative Minority" yang berperan sebagai agen perubahan dan inspirasi bagi masyarakat.

 

Berita Terkait