Mahasiswa Papua menampilkan tari tradisional di hadapan peserta International Union of Prehistoric and Protohistoric Sciences (UISPP) 2025 di Grha Kartini, UKSW.
Klikwarta.com, Salatiga - Suasana hangat terasa di halaman Grha Nusantara, Kampus Kartini Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), belum lama ini. Aroma daging dan sayur yang dimasak bersama umbi-umbian dalam batu panas memenuhi udara. Tradisi bakar batu khas Papua itu menjadi salah satu agenda berkesan dalam rangkaian International Union of Prehistoric and Protohistoric Sciences (UISPP) 2025 yang diselenggarakan di UKSW.
Menurut Kristiawan Prasetyo Agung Nugroho, M.Si., dosen Fakultas Ilmu Kesehatan (FIK) sekaligus salah satu penanggung jawab kegiatan ini, bakar batu dipilih karena menggambarkan cara memasak tradisional yang telah menjadi bagian dari sejarah manusia.
“Konsepnya bicara tentang bagaimana salah satu sejarah manusia adalah memasak. Tradisi bakar batu ini menunjukkan metode memasak tradisional yang masih dilakukan masyarakat Papua sampai sekarang,” jelas Kristiawan Prasetyo.
Selain bernilai historis, tradisi ini juga memiliki makna sosial yang kuat. Kristiawan Prasetyo menjelaskan bakar batu identik dengan kebersamaan dan sering dilakukan dalam berbagai perayaan seperti penyambutan tamu, pernikahan, atau acara syukuran. Inti dari tradisi ini adalah makan bersama sebagai bentuk solidaritas dan penghargaan terhadap kebersamaan.
Kristiawan berharap kegiatan semacam ini dapat terus dihadirkan dalam rangkaian acara internasional di UKSW. Ia menilai momentum seperti ini penting untuk mengenalkan kekayaan tradisi Indonesia sekaligus menunjukkan bahwa nilai-nilai lokal tetap relevan dalam konteks global. Ia menegaskan, setiap kegiatan semacam ini menjadi pengingat bahwa tradisi yang diwariskan masyarakat masih terjaga dan memiliki nilai sejarah yang kuat.
Kolaboarasi Budaya dan Kebersamaan
Untuk menjaga keaslian prosesi, kegiatan ini melibatkan mahasiswa Papua di UKSW. Bahkan, batu yang digunakan untuk proses pembakaran dipilih khusus dari sungai tertentu agar sesuai dengan tradisi aslinya.
Acara bakar batu diikuti oleh sekitar 218 peserta UISPP yang hadir di Salatiga, terdiri atas peneliti, dosen, mahasiswa, dan arkeolog dari 38 negara. Melalui kegiatan ini, suasana kebersamaan dan pertukaran budaya terasa begitu kental.
Salah satu peserta, Dama, peneliti asal Semarang, mengaku terkesan dengan kehangatan suasana selama acara. “Seru sekali bisa lihat langsung tradisi seperti ini. Orang-orang kumpul bareng, ngobrol, makan bersama. Saya sebelumnya cuma tahu dari media populer, tapi ternyata suasana hangat dan menarik karena bisa bertukar gagasan dengan peserta dari berbagai belahan dunia,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Anthonie, peneliti asal India, yang turut menikmati hidangan hasil bakar batu. “Rasanya enak dan unik, beda dari yang biasa dimasak secara modern. Suasananya juga menyenangkan karena semua orang menikmati bersama,” katanya.
Pelestarian Tradisi di Tengah Forum Internasional
Lebih dari sekadar sajian budaya, kegiatan bakar batu menjadi momen yang mempertemukan tradisi dan pengetahuan dalam satu perayaan. Di tengah perbedaan bahasa dan latar belakang peserta, kehangatan acara ini seolah menjadi simbol bagaimana budaya dapat menyatukan banyak cerita dalam satu meja makan.
Upaya ini sejalan dengan komitmen UKSW terhadap Tujuan Pembangunan (SDGs) 11, yakni mendukung pelestarian budaya sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan, serta SDGs 16 yang menekankan pentingnya perdamaian dan kebersamaan dalam masyarakat.
Sebagai Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang terakreditasi Unggul, UKSW telah berdiri sejak 1956 dengan 15 fakultas dan 64 program studi di jenjang D3 hingga S3, dengan 32 Prodi Unggul dan A. Terletak di Salatiga, UKSW dikenal dengan julukan Kampus Indonesia Mini, mencerminkan keragaman mahasiswanya yang berasal dari berbagai daerah. Selain itu, UKSW juga dikenal sebagai “Creative Minority” yang berperan sebagai agen perubahan dan inspirasi bagi masyarakat.







