
Foto Ilustrasi
Klikwarta.com - Opini publik yang terbangun dari fenomena bandwagon effect dapat memberikan tekanan dan tuntutan yang tidak sehat kepada aparat penegak hukum.
Dalam pemberitaan di media belakangan ini, masyarakat sering kali terkecoh dengan bias informasi yang terjadi. Hal ini terutama terjadi dalam pemberitaan terkait penegakan hukum di Indonesia.
Selain karena minimnya minat terhadap literasi hukum yang benar, terkadang juga sebagian masyarakat juga dibuat terkecoh dengan banyaknya pemberitaan yang keliru. Banyaknya penyebaran pemberitaan yang keliru juga bukan tanpa sebab, namun terjadi karena fenomena bandwagon effect.
Istilah bandwagon effect mengacu pada kecenderungan seseorang untuk mengikuti keyakinan atau pandangan yang dominan dalam suatu kelompok atau masyarakat tanpa mempertimbangkan validitas informasi tersebut. Jika dikaji secara historis, istilah bandwagon effect dipopulerkan Rudiger Schmitt-Beck dalam jurnal terbitan 2015 yang juga berjudul Bandwagon Effect. Istilah bandwagon effect berasal dari politik Amerika akhir abad ke-19.
Kata bandwagon merujuk pada kereta yang membawa ansambel musik atau band. Parade ini digelar meriah sehingga dapat menarik banyak pengikut yang berbaris di belakangnya untuk menikmati musik yang disajikan.
Para politikus yang ingin menang dalam pemilu, juga harus membuat parade serupa agar masyarakat dapat berduyun-duyun memilihnya. Bukan karena pilihan yang rasional, namun karena mengikuti pilihan mayoritas masyarakat.
Dalam konteks penegakan hukum, efek ini dapat berdampak signifikan terhadap opini publik, legitimasi institusi hukum, dan proses hukum itu sendiri. Hal ini menciptakan tantangan serius. Terutama, ketika masyarakat secara masif mendukung narasi populer tertentu tanpa memahami fakta hukum yang sesungguhnya.
Opini publik yang terbangun dari fenomena bandwagon effect dapat memberikan tekanan dan tuntutan yang tidak sehat kepada aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum dituntut dan ditekan untuk mengikuti pandangan mayoritas masyarakat karena efek bandwagon, meskipun pandangan tersebut belum tentu selaras dengan fakta-fakta hukum yang sesungguhnya dalam persidangan.
Penyebaran Informasi yang Tidak Valid
Salah satu penyebab utama bandwagon effect dalam penegakan hukum adalah penyebaran informasi yang tidak valid atau bias yang diawali dari lembaga penegak hukum itu sendiri.
Kemunculan narasi tersebut diawali dari aparat penegak hukum dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan sering kali mengadakan konferensi pers untuk memberikan informasi terkait kasus tertentu. Namun, dalam konferensi pers tersebut yang disampaikan adalah informasi yang mengenai substantif perkara yang sedang berjalan.
Informasi yang bersifat substantif tersebut belum sepenuhnya benar karena harus dibuktikan terlebih dahulu dalam persidangan. Semisal, pihak kejaksaan mengeklaim bahwa terdakwa telah merugikan negara ratusan triliun rupiah atau memaparkan dengan sangat detail peristiwa yang terjadi.
Masyarakat cenderung akan menganggap informasi yang disampaikan oleh aparat penegak hukum tersebut sebagai kebenaran yang sesungguhnya. Padahal, informasi tersebut seharusnya harus diuji dengan proses hukum yang transparan dan imparsial terlebih dahulu di pengadilan.
Informasi yang prematur dan dapat jadi keliru, setelah disebarkan media, maka memunculkan fenomena bandwagon effect, sehingga dapat menimbulkan tekanan besar pada aparat penegak hukum. Ketika opini publik yang terbentuk sudah mendukung satu narasi tertentu padahal belum tentu benar, aparat penegak hukum khususnya para hakim di pengadilan dituntut oleh keinginan publik untuk menyesuaikan tindakan mereka dengan harapan masyarakat yang bersumber dari informasi tersebut.
Hal ini kemudian bertentangan dengan prinsip dalam proses penegakan hukum, di mana, kebenaran peristiwa/fakta hukum yang sesungguhnya, ditentukan melalui proses persidangan yang adil dan transparan yang tercantum dalam putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Pengadilan sebagai Wewenang Tunggal Penegakan Kebenaran
Dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum yang disebutkan pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, pengadilan adalah institusi tunggal yang memiliki kewenangan untuk menentukan kebenaran berdasarkan proses hukum yang berlaku. Hal tersebut karena putusan pengadilan telah didasarkan pada bukti yang diuji secara transparan, imparsial, dan sesuai prosedur hukum.
Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Penemuan Hukum, menegaskan pentingnya asas res judicata pro veritate habetur, yaitu putusan hakim harus dianggap sebagai kebenaran. Hal ini memberikan legitimasi pada keputusan hukum yang diambil melalui proses persidangan yang adil.
Bandwagon effect yang menekan pengadilan untuk mengambil keputusan berdasarkan opini publik justru dapat merusak supremasi hukum dan prinsip keadilan itu sendiri.
Menurut Gustav Radbruch seorang ahli hukum, ada tiga tujuan utama hukum yaitu, kepastian, kemanfaatan dan keadilan. Tekanan publik yang tercipta dari bandwagon effect dapat mengancaman terciptanya ketiga tujuan hukum tersebut.
Jika dikaji dari perspektif kepastian hukum, bandwagon effect akan menciptakan narasi-narasi hoaks namun dirujuk oleh mayoritas. Narasi hoaks tersebut, sering kali tidak sesuai dengan fakta/kebenaran peristiwa hukum.
Namun, akan dianggap sebagai kebenaran. Sehingga masyarakat tidak menghormati putusan yang berlaku yang telah ditetapkan. Hal tersebut dikhawatirkan menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat karena masyarakat mengeklaim kebenarannya sendiri.
Kemanfaatan hukum juga tidak dapat terwujud jika pengadilan tidak dapat menjaga objektivitasnya karena terpengaruh tuntutan masyarakat yang terpengaruh bandwagon effect.
Sehingga putusan yang dihasilkan tidak dapat objektif dan tidak dapat memberikan solusi yang adil bagi masyarakat. Dalam konteks keadilan, pengadilan yang terpapar bandwagon effect tidak dapat memberikan putusan yang adil sesuai dengan prinsip equality before the law, fair trial, dan transparansi.
Pendekatan Penegakan Hukum yang Integratif
Untuk menghadapi tantangan fenomena bandwagon effect, diperlukan semangat pendekatan penegakan hukum yang integratif. Pendekatan ini melibatkan sinergi antara lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantas Korupsi, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan untuk memastikan bahwa informasi yang disampaikan sesuai wewenangnya masing-masing tanpa melanggar batas yurisdiksi kelembagaan.
Misalnya, dalam konferensi pers terkait kasus yang sedang berjalan, informasi yang disampaikan seharusnya hanya sebatas informasi formal prosedural, bukan informasi substantif yang secara hukum harus dibuktikan di persidangan.
Edukasi masyarakat juga menjadi pilar penting dalam mengurangi dampak bandwagon effect.
Masyarakat perlu dibekali literasi hukum yang memadai agar kritis sehingga dapat memilah informasi yang valid ataupun tidak.
Selain itu, juga peran media memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan berita yang faktual dan tidak bias untuk mengurangi dampak bandwagon effect di tengah masyarakat.
Tuntutan masyarakat yang muncul akibat fenomena bandwagon effect dapat menciptakan tantangan besar bagi aparat penegak hukum dan supremasi hukum di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran kolektif dari aparat penegak hukum, media, dan masyarakat agar keadilan dapat ditegakkan dengan sebenar-benarnya.(*)