Menelisik Desa Mojoroto di Antara Jejak Kesejarahan Tiga Ksatria Jawa 

Rabu, 11/05/2022 - 13:37
Komplek Sendang Bejen, Petilasan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa di Dusun Dawe, Desa  Mojoroto, Kecamatan  Mojogedang, Kabupaten Karanganyar.
Komplek Sendang Bejen, Petilasan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa di Dusun Dawe, Desa Mojoroto, Kecamatan Mojogedang, Kabupaten Karanganyar.

Klikwarta.com, Karanganyar - Desa Mojoroto merupakan satu di antara 13 desa yang masuk dalam wilayah Kecamatan Mojogedang, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

Dari pusat kota atau pusat pemerintahan Kabupaten Karanganyar, diperlukan jarak tempuh sekira 15 kilometer untuk sampai ke desa ini.

Secara geografis, sebelah barat Desa Mojoroto berbatasan dengan Desa Gebyok, sebelah utara berbatasan dengan Desa Gentungan, sebelah timur berbatasan dengan Desa Pojok dan di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cerman. Luas wilayah adminstratif Desa Mojoroto mencapai 443.9350 hektar.

Dari catatan sejarah yang ada, Mojoroto disebutkan sebagai  bagian dari wilayah Praja Mangkunegaran. Di desa ini pula, terdapat sumber mata air yang  jernih dan mengalir tiada henti. Lokasi sumber mata air ini dikenal dengan Sendang Bejen, yang tepatnya berada di Dusun Dawe. 

Sendang Bejen sangat diyakini masyarakat sebagai sebuah situs petilasan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa yang kemudian hari menjadi pendiri sekaligus penguasa pertama Kadipaten Mangkunegaran bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I dan menjadi salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.

Kawasan ini, kini menjadi lokasi wisata dengan gapura yang sudah didesain menyerupai bentuk candi. Sejumlah bentuk bangunan yang ada juga tersusun begitu rapi dan indah. Kesadaran dan kepedulian akan keberadaan situs bersejarah yang dimiliki masyarakatnya, membuat Sendang Bejen tetap terawat dengan baik.

Konon, pada masa penjajahan kolonial Belanda, Sendang Bejen menjadi persinggahan Pangeran Sambernyawa juga tempat persembunyian dari kejaran tentara VOC dan kroni - kroninya.

Di Sendang Bejen ini pula  Pangeran Sambernyawa mensucikan diri dan melakukan semedi serta menyusun strategi dan melatih prajuritnya untuk menggempur balik serdadu musuh.

Ada kajian cukup menarik dari penelusuran sejarah tentang Mojoroto yang mana belakangan ini diungkap oleh Solo Societeit, sebuah komunitas pegiat dan pemerhati sejarah dan budaya di Kota Solo.

Kajian sejarah mengenai Desa Mojoroto dan Sendang Bejen ini dikupas dalam acara Focus Group Discution (FGD) bertajuk Menggali Potensi Pengembangan "Desa Wisata Religi, Budaya dan Sejarah Sendang Bejen, Petilasan RM. Said (Pangeran Sambernyawa), pada 28 April 2022 lalu.

Acara diskusi sejarah yang dimoderatori Ir. Agus Gunawan Wibisono dari Lembaga Gerak Pemberdayaan (LeGePe) itu, juga menghadirkan Kepala Disdikbud Kabupaten Karanganyar Yopi Eko Jati Wibisono dan Kepala Dispermades Kabupaten Karanganyar Sundoro Budhi Karyanto.

Ketua Solo Societeit, Dani Saptoni, mengatakan bahwa dalam melakukan penelusuran sejarah terhadap keberadaan Mojoroto, Solo Societeit juga melakukan pendokumentasian aspek keterkaitan antara jejak sosok Pangeran Sambernyawa dan kesejarahan Tanah  Sukowati. 

"Ketika membuka manuskrip atau naskah kuno beraksara Jawa yang ada di keraton dan perpustakaan lokal seperti Babad Giyanti, ternyata Mojoroto menjadi sangat penting karena merekam jejak Perang Suksesi Jawa ke-3, dimana tiga ksatria Jawa yaitu Tumenggung Martapura, Pangeran Mangkubumi dan Mangkunegara I atau Pangeran Sambernyawa pernah mendirikan basis militer dan pesanggrahan di desa ini" ungkap Dani.

Keberadaan Mojoroto berdasarkan manuskrip Babad Giyanti, kata Dani, juga disebut merekam tiga alur peristiwa penting periode kesejarahan ketiga tokoh tersebut.

Pertama, tentang peristiwa ketika Pangeran Mangkubumi berusaha memburu dan menumpas pemberontakan Tumenggung Martapura dan Pangeran Sambernyawa di Sukowati. 

Kedua, ketika Pangeran Mangkubumi sendiri keluar dari Keraton Kartasura menuju ke Sukowati, Mojoroto adalah tempat tujuan bagi Pangeran Mangkubumi untuk melaksanakan misi perjuangannya. 

Yang ketiga, Mojoroto juga tak lepas dari peristiwa ketika pecah kongsi antara Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa. 

"Karenanya, temuan ini menjadi menarik untuk ditelisik lebih jauh. Terlebih, dalam Babad Giyanti, juga paling banyak kami temukan konteks tentang nama Mojoroto. Saya berpikir bahwa Sukowati wilayah utara dan barat saja yang masa itu menjadi basis kekuatan militer pada era Perang Mangkubumen. Tapi ternyata dalam sejarah, Mojoroto adalah tidak kalah penting dari Sukowati," ungkapnya.

Dari temuan penelusuran sejarah yang dilakukan, Mojoroto juga disebut berbeda dengan desa yang lain. Mojoroto pada masa itu, disebut jalur komunikasi yang ideal sebagai wilayah penghubung antara sisi barat dengan sisi selatan Gunung Lawu, dimana laskar Pangeran Sambernyawa dan Pangeran Mangkubumi sering mengadakan mobilisasi gerakan.

Menurut Dani, Babad Giyanti juga mendeskripsikan luas wilayah tanah Sukowati yang pada masa itu tidak hanya sebatas Kabupaten Sragen sekarang. Luas Tanah Sukowati ke daerah bagian selatan adalah sampai ke Desa Palur. Bahkan lebih luas lagi, Kabupaten Karanganyar dahulu juga masuk ke dalam wilayah Sukowati.

Dijelaskan, pada masa itu pula Pangeran Mangkubumi disebut lebih dahulu menuju Mojoroto dan mendirikan pesanggrahan juga basis militer untuk memburu Tumenggung Martapura dan Pangeran Sambernyawa yang lebih awal melakukan pemberontakan.

"Ada satu catatan penting dalam konteks bahwa Mojoroto adalah desa wisata berbasis religi dan sejarah memang sangat tepat. Karena di Mojoroto dua tokoh superior Tanah Jawa, yaitu Pangeran Sambernyawa dan Pangeran Mangkubumi sama - sama mengalami pengalaman spiritual yang sangat hebat. Pangeran Mangkubumi membuat pesanggrahan dan berdiam di sini, kemudian merasakan sebuah ketenangan. Begitu juga dengan Pangeran Sambernyawa," terang Dani.  

Catatan penting lainnya ditemukan dalam Babad Panambangan yang juga menyinggung mengenai jejak perjuangan Pangeran Sambernyawa di Mojoroto  sebelum mendirikan Praja  Mangkunegaran.

Dalam manuskrip kuno  tersebut, termaktub juga bahwa Pangeran Sambernyawa melakukan meditasi dan olah spiritual di Sendang Bejen hingga membangun sebuah pesanggrahan hingga  mengasah kemampuan para prajuritnya dengan berlatih jemparingan atau memanah.

"Maka, bukan tidak mungkin apabila jemparingan bisa dihadirkan kembali sebagai   aset bagi Desa Mojoroto kelak. Karena secara kesejarahan ada fakta bahwa dulu tempat ini juga dipakai untuk latihan memanah oleh para laskar Pangeran Sambernyawa pada masanya," kata Dani. 

Dijelaskan lebih lanjut, termuat dalam catatan arsip Belanda,  ditemukan sebuah keunikan bahwa untuk mengobarkan semangat tempur para prajuritnya, Pangeran Sambernyawa selalu membawa dan menabuh gamelan carabalen setiap kali menyambut musuh di medan perang.

"Ketika dalam suasana damai, Pangeran Sambernyawa  adalah seorang yang mahir  dalam bahasa Arab. Bahkan pada masa itu, beliau juga mampu menyalin dan  menerjemahkan Al Quran. Maka, ketika kita bicara tentang konteks Pangeran Sambernyawa, jangan hanya berpikir bahwa beliau adalah hanya seorang ahli perang, tetapi beliau juga  seorang sosok Muslim yang sangat taat. Inilah satu sisi religius dari Pangeran Sambernyawa yang sering terlupakan," terangnya.

Temuan penting lainnya terkait Mojoroto adalah mengenai  konteks penetapan jumlah anggota pasukan inti atau pasukan khusus Pangeran Sambernyawa semasa awal perjuangannya. 

"Sampai sekarang, di Puro Mangkunegaran angka 40 menjadi angka yang sakral. Bukan berarti klenik, melainkan ini adalah suatu strategi, dimana jumlah anggota pasukan khusus  Pangeran Sambernyawa adalah selalu tak kurang dari 40 orang. Penetapan jumlah pasukan ini diadopsi secara filisofis dari Macapat. Ini yang kemudian diaplikasikan oleh Pangeran Sambernyawa ke dalam dunia militer dan terbukti tangguh," jelasnya. 

Salah satu aspek nilai lebih lagi  dari pasukan terlatih Pangeran Sambernyawa adalah kekuatan barisan prajurit wanita (prajurit estri) yang jumlahnya juga tidak lebih dari 40 orang. Pasukan ini layaknya pasukan khusus yang juga mampu melakukan berbagai tugas-tugas rahasia. Konteks penetapan jumlah prajurit ini, ungkap Dani, ditemukan pula di Mojoroto.

"Dari penelusuran sejarah yang kami lakukan, penetapan jumlah anggota pasukan khusus dari Pangeran Sambernyawa yaitu sebanyak 40 orang, ternyata justru ada di Mojoroto. Saya berpikir, bahwa kemungkinan setelah Pangeran Sambernyawa melakukan gerilya ke Nglaroh, Wonogiri barulah beliau menetapkan penyebutan nama - nama dari 40 orang pasukan khusus tersebut, yang semua diawali dengan nama gelar Joyo, seperti Joyo Liyangan, Joyo Wilatan dan banyak lagi," paparnya.

Ciri khas petilasan Pangeran Sambernyawa kebanyakan memang tak selalu jauh dari keberadaan mata air dan sendang. Seperti halnya Sendang Bejen di Kabupaten Karanganyar. Pun demikian dengan petilasan Pangeran Sambernyawa yang ditemukan  di beberapa tempat di Kabupaten Wonogiri seperti Sendang Siwani, Sendang Lanang, Umbul Naga dan Sendang Sigedang.

Menurut Dani, di samping aspek kepercayaan orang Jawa terhadap sarana kekuatan spiritual adi kodrati, keberadaan sumber air yang mencukupi adalah menjadi penting, dimana kebutuhan untuk minum dan sebagainya dapat terjamin dengan keberadaan mata air dan sendang.

"Keberadaan Sendang Bejen ini adalah bukti nyata sejarah secara fisik untuk anak cucu.  Karenanya kesadaran untuk merawat keberadaan situs perlu dijaga dan dilestarikan bersama untuk menguak sejarah," pungkasnya.

(Pewarta : Kacuk Legowo)

Related News