Diskusi Terbuka BEM STAIDA Muhammadiyah Jabar
Klikwarta.com, Jawa Barat - Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Arqam (STAIDA) Muhammadiyah Garut gelar diskusi terbuka, Kamis (25/07/2019) di Aula kampus STAIDA Jl Bratayuda no. 39 Garut, Jawa Barat.
Diskusi mengusung tema "Merajut Kembali Persatuan dan Kesatuan Pasca Penetapan Hasil Pilpres 2019 oleh KPU" dengan narasumber Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Garut Drs Nurdin Yana MH, Ketua STAIDA Muhammadiyah Garut Dr Luthfi Asy'ari MPd, Komisoner KPU Kabupaten Garut Aneu Nursyifah, Kepala Jabar Saber Hoaks Tommy Sutami, Sekjen DPW KNPI Jawa Barat Asep Komarudin MPd serta dihadiri sekitar 80 orang mahasiswa dari STAIDA, Universitas Garut (UNIGA), STMIK Garut, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Garut, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Garut.
Ketua STAIDA Muhammadiyah Garut Dr Luthfi Asy'ari mengatakan beberapa bulan lalu pegelaran Pilpres sudah usai dengan putusan KPU, setelah MK memutuskan bahwa pasangan 01 tidak terbukti curang.
"Setelah itu, masih muncul hoaks dan fitnah. Fitnah masih muncul karena ahklaknya rendah, tidak ada jiwa toleransi dari pihak-pihak yang keberatan dengan putusan ini. orang-orang yang menyebarkan hoaks sebenarnya adalah lulusan sekolah-sekolah tinggi, salah satunya mungkin lulusan STAIDA Muhammadiya Garut. Sehingga, yang harus disalahkan adalah sekolahnya yang tidak berhasil mendidik agar lulusannya tidak menyebarkan hoaks", katanya.
"Bangsa Indonesia jangan seperti seorang perempuan yang mengacak-ngacak kainnya yang sudah dirajut sendiri", sambungnya.
Sementara Komisioner KPU Aneu Nursyifah mengatakan angka partisipasi nasional masyarakat pada PIlpres 2019 sebesar 77%, sementara Garut ada diatasnya yaitu di angka 79,95 persen, mengalami peningkatan sekitar 10%.
"Garut tidak ada pemungutan suara ulang, dan KPU Garut juga satu-satunya di Provinsi Jawa Barat yang tidak terbukti ada penyalahgunaan administrasi pada sidang Bawaslu. Sehingga, dapat dikatakan bahwa pemilu di Kabupaten Garut tidak ada permasalahan yang cukup mengganggu", sampainya.
Terkait perbedaan pilihan dan hoaks, lanjutnya, tidak dapat dipungkiri bahwa ada perbedaan pilihan yang membuat masyarakat memanas. Bahkan ada yang sampai bercerai karena ada perbedaan pilihan.
"Di Kabupaten Garut tidak ada perselisihan yang sampai mengakibatkan korban, walaupun memang ada unjuk rasa sebelum penetapan hasil. Hal tersebut merupakan hal yang wajar dalam demokrasi. Di Garut, dari 85 ribu petugas KPPS, ada 13 orang yang meninggal, ada yang sebulan setelah hari H, sebelum hari H, tapi tidak ada yang meninggal pas hari H", jelasnya.
Di sisi lain, Sekjen KNPI Jawa Barat Asep Komarudin mengatakan KNPI sedang berkampanye dari Sabang sampai Merauke menggelorakan persatuan dengan hashtag #BersamaMemelukIndonesia.
"Saat ini sudah tidak ada lagi 01 dan 02, adanya 03 yaitu persatuan Indonesia. Pemuda harus menjadi solusi bangsa. Pemuda harus menjadi kekuatan besar. Mahasiswa dan pemuda harus tetap meningkatkan daya kritis. Terhadap apapun dan siapapun, sekalipun kepada pemerintah. Jangan diam setelah diberikan program, tetaplah kritis", ungkapnya.
Menurutnya, mahasiswa dan pemuda seharusnya kemarin jangan berada di 01 atau 02, tetapi berada di tengah. Huru-hara fisik harus sudah selesai.
"Saatnya huru hara visi dan gagasan. Itulah yang harus dimiliki mahasiswa. Penting bagi kita untuk menguasai teknologi dan disaat yang sama, tetap menguatkan hubungan sosial kita", tegasnya.
Drs Nurdin Yana (Kepala Dinas Kominfo Garut) juga mengatakan jangan sampai kondisi-kondisi yang sudah lama dibangun, di take-down oleh kecerobohan seperti penyebaran hoaks.
"Yang turut menjadi penyebab adanya perpecahan adalah penyebaran hoaks pada media sosial. Setelah pemilu, kewajiban pemerintah adalah mengevaluasi bagaimana pelaksanaan pemilu tersebut dan bagaimana dampak yang sudah terjadi serta bagaimana mencari solusinya", katanya.
Tambahnya, tugas Kominfo pada Pilpres itu ada 3, yaitu tugas Komunikasi, statistik, dan persatuan. Konten negatif yang banyak diakses oleh masyarakat Kabupaten Garut adalah konten pornografi. "Ini sangat berbahaya untuk masa depan generasi muda Indonesia. Lebih baik teknologi internet dipakai untuk mencari konten-konten untuk mengklarifikasi hoaks-hoaks yang beredar di mediia sosial", tandasnya.
Lebih lanjut dikatakan Tommy Sutami, SH (Admin Jabar Saber Hoaks), Tim Jabar Saber Hoaks memiliki hashtag yaitu #JabarHantamhoaks.
"Apakah media sosial masih layak dijadikan sebagai sumber informasi di luar media mainstream yang menjadi sumber rujukan informasi sebelumnya? sebenarnya ketika media komunikasi hanya memakai SMS, hoaks sudah ada, tapi belum semasif saat ini. Apakah hoaks didesain atau hanya karena ketidaktahuan.
Menurutnya, salah satu yang menjadi sebab kenapa hoaks menyebar dengan sangat masif, yaitu karena sifat manusia yang ingin heroik, ingin dianggap paling tahu, dan paling benar. Padahal, kalau ada informasi yang belum tentu benar, tidak di sebarkan lagi, informasi bohong itu berhenti disana.
"Pemuda harus dilatih untuk lebih peka, bukan untuk apatis, tapi lebih defensif terhadap segala informasi yang beredar. Survey menurut Reuters 2018, media sosial bukan lagi menjadi sumber informasi yang terpercaya", jelasnya.
Tambahnya, terjadinya cyber conflict atau perseteruan di media internet, adalah karena algoritma media sosial hanya menyajikan apa yang kita perlukan berdasarkan kesukaan kita.
"Misalnya kita suka basket, pastik kita akan mengklik berita/konten mengenai basket, tidak akan ada konten mengenai artis misalnya. Sehingga, apa yang muncul di linimasa media sosial kita hanya apa yang kita inginkan, sehingga persatuan itu belum terjadi di media sosial", tandasnya.
Sementara itu dalam sesi tanya jawab, Dadang Nurjaman dari HMI Garut bertanya. Apakah ada by design atau cipta kondisi yang dilakukan negara untuk mengamankan kekuasaannya seolah-olah Kominfo tidak berperan, sehingga isu-isu ini berkembang ke masyarakat. Dimana peran Kominfo untuk mengkonter isu-isu tersebut? Negara juga tidak mampu melindungi warganya karena ada ratusan petugas KPPS yang meninggal.
Hal itu dijawab Nurdin Diskominfo Garut bahwa tidak ada instruksi yang masif dan terstruktur dari Kominfo untuk melakukan pengkondisian dalam Pilpres 2019. "Percayalah bahwa Kominfo tidak pernah melakukan cipta kondisi seperti menyebarkan hoaks. Sebenarnya tinggal ditutup saja atau di take down, tapi itu ranah pusat, bukan ranah Kominfo Garut. Dinas Kominfo Garut telah membentuk suatu tim yang berasal dari partisipasi masyarakat untuk berkolaborasi dalam melaporkan akun-akun hoaks", jelasnya.
Sementara Tommy Jabar Saber hoaks ikut menanggapi bahwa penyebaran hoaks yang masif bukan karena penetrasi digital yang sangat cepat, tapi karena literasi digital masyarakat yang masih kurang. Jabar Saber hoaks juga merupakan salah satu bentuk upaya pemerintah untuk mengurangi penyebaran hoaks.
"Terkait by design, bisa jadi ini by design, karena bisa jadi ada komunitas yang membentuknya. Tapi belum tentu pemerintah, bisa saja kelompok lain", sampainya.
Kemudian Asep Komarudin menanggapi terkait meninggalnya ratusan anggota KPPS bahwa menurutnya keinginan pemerintah melakukan efisiensi dengan menyatukan semua pemilu, membuat banyak anggota KPPS kelelahan.
"Ini adalah tragedi, yang tidak boleh terulang lagi", singkatnya.
Sisi lain, Aneu Komisioner KPU menyampaikan bahwa meninggalnya penyelenggara bukan hanya kali ini saja, setiap pemilihan umum ada yang meninggal. Namun, tidak terekspose. Karena, ada surat edaran dari Kementerian Keuangan bahwa pemerintah menanggung penyelenggara yang sakit dan meninggal. Namun tidak semua yang meninggal karena kelelahan. Ada yang meninggal di Garut satu minggu setelah pelaksanaan, ternyata dia meninggal karena operasi usus buntu.
Ujang dari IMM juga bertanya apakah pemerintah tidak peka terhadap apa yang terjadi di media sosial?
Jawaban dari Tommy Saber hoaks bahwa media sosial itu tools. Mereka dibuat berdasarkan bisnis. Pemerintah peka, hanya memang pola serangan dari medsos yang menggunakan masyarakat sehingga mengecoh.
"Sehingga, literasi media adalah salah satu solusinya. Pola masyarakat yang jarang dan malas melakukan cek fakta terhadap semua yang beredar, menjadi senjara yang digunakan oleh pembuat hoaks", jelasnya.
Sementaa Soleh dari STAIDA Muhammadiyah bertanya apakah benar bahwa saat ini harga-harga mahal karena dampak dari besarnya anggaran pilpres 2019 kemarin, sehingga uang negara habis?
Jawaban dari Tommy bahwa untuk menjawab hal itu, harus dibandingkan data Menteri Keuangan dengan data KPU, Kemendagri, sehingga tidak mudah untuk menjawab itu. (Ad)