Ketika Seni Mengajarkan Empati Lewat Simfoni Kecil Bernama Kebersamaan

Rabu, 21/05/2025 - 09:20
Foto : Istimewa

Foto : Istimewa

Oleh : Rico Rizky

Klikwarta.com - Seni bukan sekadar panggung dan tepuk tangan ia juga ruang belajar untuk menjadi manusia yang lebih peka terhadap sesama. Di antara bait-bait puisi dan denting senar gitar yang kugesek pelan, aku belajar hal yang tak diajarkan secara eksplisit di ruang kelas yaitu bagaimana menjadi manusia yang bisa mengerti orang lain.

Pengalaman itu datang ketika aku bergabung dalam grup musikalisasi puisi bernama Karya Shankara, sebuah kolaborasi yang tumbuh dari program roadshow menuju Anugerah Sastra & Kebudayaan 2024 untuk Taufiq Ismail, yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Karya Shankara bukan grup seni besar. Kami terbentuk dengan cepat, dari orang-orang yang awalnya asing satu sama lain. Namun justru dari proses itulah, aku mulai merasakan pentingnya kemampuan berinteraksi secara sehat dan sadar dengan orang lain kemampuan  yang belakangan kutahu sebagai kecerdasan interpersonal.

Sebagai pemain gitar dalam kelompok, tugasku tak hanya mengisi ruang-ruang sunyi di antara baris puisi, tapi juga menjaga keseimbangan. Kadang aku harus mundur selangkah agar suara vokal lebih terdengar, kadang aku memberi ritme agar teman pembaca tidak kehilangan tempo.

Tapi lebih dari itu, aku belajar mengenali suasana hati teman-teman. Apakah mereka sedang lelah? Apakah kritikku terdengar terlalu tajam? Apakah jeda ini dibutuhkan untuk membiarkan satu sama lain berpikir? Semua pertanyaan itu tak akan muncul kalau kami hanya berpikir tentang tampil sempurna di atas panggung. Di situlah aku sadar: seni yang baik lahir dari relasi yang sehat.

Kami sering berbeda pendapat ada yang perfeksionis, ada yang spontan, ada yang dominan, dan  ada yang lebih diam. Tapi perbedaan itu bukan penghalang selama kami bisa saling membaca dan menyesuaikan diri. Tidak ada pemimpin resmi di Karya Shankara.

Tapi setiap orang diberi ruang untuk memimpin di bidangnya masing-masing. Dan dari situ, aku mengerti bahwa kemampuan untuk mendengarkan, menengahi, dan menjaga ritme emosi dalam tim adalah bagian dari soft skill yang sangat berguna bukan hanya dalam berkesenian, tapi juga dalam kehidupan profesional, pertemanan, bahkan keluarga.

Penampilan kami memang tidak berlangsung lama. Tapi proses di baliknya meninggalkan kesan yang dalam. Saat acara berakhir, dan masing-masing kembali ke kesibukan pribadi, aku membawa pulang sesuatu yang lebih berharga dari sekadar dokumentasi panggung yaitu pemahaman bahwa kemampuan memahami orang lain, bersikap terbuka, dan menjaga komunikasi sehat adalah hal yang vital untuk bertahan di kehidupan yang makin kompleks.Kecerdasan interpersonal bukan hanya soal kerja tim. Ia tentang menjaga ruang aman di mana semua orang merasa dihargai. Dan ruang itu, di Karya Shankara, tumbuh bukan karena aturan, tapi karena empati.

Dari luar, mungkin yang orang lihat adalah kami sedang membacakan puisi dan memetik gitar. Tapi di balik itu, kami sedang membentuk hubungan. Hubungan yang dibangun bukan atas dasar kesamaan visi semata, tapi atas kesadaran akan pentingnya saling mengerti.

Itulah yang membuat Karya Shankara istimewa. Bukan karena megahnya panggung atau banyaknya penonton, tapi karena ia menjadi ruang belajar yang sangat manusiawi tempat di mana empati, kesabaran, dan kesadaran sosial tumbuh secara alami.

Dan mungkin itulah yang paling membekas: bahwa kadang, kita tak perlu pergi jauh untuk belajar jadi manusia. Cukup duduk bersama, mendengarkan, dan saling memberi ruang seperti yang kami lakukan dalam simfoni kecil bernama kebersamaan.

Tags

Related News