
Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani Aher
Klikwarta.com, Jakarta – Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani Aher, mengapresiasi terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2025 yang merevisi ketentuan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Regulasi baru ini dinilai sebagai langkah maju dalam memberikan perlindungan lebih baik bagi pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Pemerintah telah menunjukkan komitmennya dalam memperkuat jaring pengaman sosial bagi pekerja dengan meningkatkan manfaat JKP," ujar Netty melalui rilisnya. Rabu (19/2/2025).
Dengan adanya revisi ini, lanjutnya, pekerja yang ter-PHK kini mendapatkan santunan sebesar 60 persen dari gaji selama enam bulan. Sebelumnya, aturan hanya memberikan 45 persen dalam tiga bulan pertama dan 25 persen dalam tiga bulan berikutnya. Selain peningkatan manfaat, PP Nomor 6 Tahun 2025 juga menurunkan besaran iuran JKP dari 0,46 persen menjadi 0,36 persen dari upah bulanan.
"Ini adalah kebijakan win-win solution yang memberikan peningkatan manfaat bagi pekerja, sementara beban iuran bagi perusahaan dan pekerja tetap terkendali," tambahnya.
Perubahan lain yang patut diapresiasi adalah kemudahan dalam klaim manfaat JKP. Jika sebelumnya peserta harus membayar iuran minimal enam bulan berturut-turut sebelum PHK, kini syaratnya cukup memiliki masa iur 12 bulan dalam rentang waktu 24 bulan sebelum terjadi PHK.
"Kebijakan ini lebih fleksibel dan realistis, sehingga lebih banyak pekerja yang bisa mengakses manfaat JKP saat menghadapi PHK," jelas Netty.
Tak hanya itu, PP Nomor 6 Tahun 2025 juga memastikan bahwa pekerja tetap bisa mendapatkan manfaat JKP meskipun perusahaan tempat mereka bekerja mengalami kebangkrutan atau menunggak iuran hingga enam bulan.
"Ini adalah langkah progresif yang melindungi hak pekerja dan memastikan BPJS Ketenagakerjaan tetap hadir sebagai jaminan sosial yang dapat diandalkan," tegasnya.
Netty berharap implementasi aturan ini dapat berjalan dengan baik dan diiringi sosialisasi yang masif kepada pekerja dan pengusaha. Namun, ia juga menekankan pentingnya perhatian pemerintah terhadap pekerja outsourcing dan pekerja informal yang belum sepenuhnya mendapatkan perlindungan serupa.
"Kita tidak boleh melupakan pekerja outsourcing dan pekerja informal yang juga rentan mengalami PHK atau kehilangan pendapatan. Pemerintah perlu merancang skema perlindungan sosial yang lebih inklusif agar mereka juga memiliki jaminan dalam menghadapi ketidakpastian pekerjaan," tutupnya.
(Kontributor : Arif)