Langkah Kecil, Perubahan Besar, Membangun Disiplin Diri dengan EQ

Minggu, 25/05/2025 - 15:38
Ilustrasi rasa malas (Freepik.com)

Ilustrasi rasa malas (Freepik.com)

Oleh : Krisna Setia Wati Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta

Klikwarta.com - Pernahkah kamu merasakan dorongan kuat untuk menunda-nunda pekerjaan penting, meskipun kamu tahu tenggat waktu semakin dekat? Perasaan bersalah yang muncul setelah berjam-jam terbuang sia-sia untuk hal-hal yang tidak produktif, pikiran yang terus-menerus diganggu oleh daftar tugas yang belum selesai, atau kecemasan mendadak saat menyadari bahwa waktu sudah mepet? Mungkin itu saat mengerjakan makalah akhir semester, mempersiapkan ujian penting, atau bahkan hanya membereskan kamar yang sudah berantakan. Prokrastinasi, kebiasaan menunda-nunda, seringkali menjadi tembok tebal yang menghalangi kita untuk berkembang, mencapai potensi penuh, dan bahkan merasa tenang.

Di sinilah kecerdasan emosional (EQ) hadir bukan sebagai obat mujarab untuk menghilangkan godaan penundaan, melainkan sebagai kompas yang membimbing kita untuk memahami, mengelola, dan akhirnya melangkah maju melewati rintangan emosional tersebut, menuju kedisiplinan diri yang lebih kuat.

Antara Niat Baik dan Jeratan Penundaan yang Melumpuhkan

Aku ingat betul bagaimana dulu aku sering terperangkap dalam jeratan prokrastinasi.

Ada banyak tugas dan proyek menarik yang muncul—rencana untuk memulai proyek sampingan, atau target untuk belajar keterampilan baru. Secara logis, aku tahu ini semua adalah hal baik yang bisa membantuku berkembang dan mencapai cita-cita. Namun, begitu gagasan itu muncul, sensasi "malas" atau "enggan" langsung datang. Pikiranku dipenuhi skenario penundaan (“Ah, masih ada waktu nanti malam,” “Ini terlalu sulit, mulai besok saja,” “Aku butuh istirahat dulu”), dan akhirnya, aku akan mencari seribu alasan untuk menunda, bahkan menghindari, karena takut akan proses yang melelahkan atau hasil yang tidak sesuai harapan.

Aku selalu menyalahkan diri sendiri karena “tidak disiplin” atau “kurang motivasi.” Perasaan frustrasi dan penyesalan sering muncul setelah tenggat waktu terlewati atau ketika aku harus bergegas menyelesaikan pekerjaan dengan kualitas seadanya. Aku iri pada mereka yang tampak mudah saja fokus dan menyelesaikan tugas tepat waktu. Konflik ini adalah pertarungan antara keinginan untuk menjadi produktif dan godaan penundaan irasional yang muncul dari dalam diriku sendiri.

Aku seolah-olah punya “tombol tunda” otomatis yang selalu kupencet setiap kali dihadapkan pada tugas yang terasa berat. Faktanya, penelitian menunjukkan bahwa prokrastinasi seringkali bukan masalah manajemen waktu, melainkan manajemen emosi, di mana kita menunda tugas untuk menghindari emosi negatif yang terkait dengannya.

Mengenali Pola dan Mencari Strategi dari Para Ahli. Titik balikku datang ketika aku menyadari bahwa prokrastinasi itu bukan sekadar malas, melainkan sebuah sinyal yang perlu kupahami dan kelola. Aku mulai membaca dan merenung, hingga aku menemukan konsep kecerdasan emosional yang dipopulerkan oleh Daniel Goleman, khususnya pada aspek pengaturan diri dan motivasi internal.

Aku menyadari bahwa ketidakmampuanku untuk memulai atau menyelesaikan sesuatu bukan karena kurangnya kemampuan, melainkan kurangnya keterampilan dalam mengelola dorongan emosional untuk menunda dan membangun kebiasaan yang lebih baik.

Menurut Daniel Goleman dalam bukunya “Emotional Intelligence”, EQ terdiri dari lima aspek utama: kesadaran diri (kemampuan mengenali emosi sendiri saat muncul), pengaturan diri (kemampuan mengelola dan menyesuaikan emosi agar tidak merugikan), motivasi internal (dorongan untuk mencapai tujuan demi kepuasan pribadi), empati (kemampuan memahami perasaan orang lain), dan keterampilan sosial (kemampuan membangun dan mengelola hubungan). Aku belajar bahwa para ahli sepakat, EQ bukanlah bawaan lahir; ia adalah keterampilan yang bisa diasah dan dikembangkan seumur hidup. Ini memberiku harapan besar.

Melangkah Kecil, Mengelola Godaan Penundaan dengan Strategi EQ. Dengan pemahaman baru ini, aku mulai mengasah “otot” kecerdasan emosionalku secara bertahap, dengan fokus pada mengatasi godaan penundaan. Langkah pertamaku adalah memvalidasi perasaanku; jika aku merasa enggan memulai tugas, aku tidak lagi mencaci diri sendiri, melainkan berkata, “Oke, aku merasa malas, dan itu wajar.

Banyak orang juga merasakannya.” Ini adalah langkah awal untuk menerima emosi tersebut tanpa menghakiminya. Selanjutnya, aku berlatih mengidentifikasi akar penundaan, bertanya pada diri sendiri apa yang sebenarnya kutakuti dari tugas ini—apakah itu terlalu sulit, membosankan, atau takut gagal. Dengan mengetahui akar masalahnya, aku bisa mulai menantang pikiran-pikiran negatif itu secara lebih spesifik, alih-alih panik secara umum.

Selain itu, aku belajar memberi jeda dan bernapas sebelum langsung menunda. Sebelum memutuskan untuk menunda, aku akan menarik napas dalam-dalam beberapa kali. Ini memberikan ruang antara stimulus (tugas) dan respons (menunda), memungkinkan aku untuk berpikir lebih jernih dan memutuskan untuk mengambil tindakan kecil. Aku juga mulai memecah tugas besar menjadi bagian-bagian kecil yang lebih mudah dikelola.

Jika tugasnya terlalu menakutkan, aku hanya akan fokus pada langkah pertama yang sangat kecil, misalnya, "Aku hanya akan membuka dokumennya selama 5 menit." Ini mengurangi tekanan dan membuat tugas terasa tidak terlalu membebani. Terakhir, aku memulai dengan langkah kecil dan konsisten, menerapkan aturan "5 menit" atau "10 menit" untuk memulai tugas yang paling aku tunda. Kemenangan kecil ini membangun momentum dan kepercayaan diri.

Strategi ini sangat efektif dalam membangun kebiasaan baru selangkah demi selangkah, mengatasi hambatan psikologis secara bertahap.

Proses ini penuh tantangan. Ada hari-hari ketika godaan penundaan itu masih sangat kuat, dan aku hampir menyerah pada kebiasaan lama. Namun, kini aku memiliki kesadaran dan alat untuk bangkit lagi, tanpa menghakimi diri sendiri secara berlebihan. Aku belajar bahwa disiplin bukanlah ketiadaan godaan, melainkan tindakan melangkah maju meskipun godaan itu ada.

Hari ini, aku tidak lagi melihat prokrastinasi sebagai kelemahan diri yang tak bisa diubah. Aku melihatnya sebagai sinyal, sebuah tantangan untuk mengasah kecerdasan emosionalku dalam membangun disiplin. Aku tidak lagi sempurna dalam mengelola kebiasaan menundaku, tapi aku jauh lebih sadar. Tugas-tugas baru tidak lagi selalu memicu panic attack atau penundaan yang berlarut-larut.

Aku bisa mengenali sensasinya, memvalidasinya, dan memilih untuk tidak membiarkannya menguasai. Aku menjadi pribadi yang lebih produktif, lebih fokus pada tujuan, dan lebih cepat menyelesaikan pekerjaan. Kecerdasan emosional telah memberiku kebebasan untuk melangkah keluar dari zona nyaman menunda, untuk mengejar impian yang dulu terasa mustahil karena selalu tertunda, dan untuk belajar dari setiap pengalaman, baik yang berhasil maupun tidak. Ini adalah kisah tentang bagaimana aku belajar berdamai dengan kebiasaan menundaku, menjadikannya bagian dari diriku yang utuh, dan pada akhirnya, memberdayakan diriku untuk hidup lebih penuh.

Tags

web banner

Related News