
Foto : Istimewa
Oleh : Tegar Putra Syah Soyana, Mahasiswa Politeknin Negeri Jakarta
Klikwarta.com - Saya salah satu mahasiswa kampus vokasi indonesia, dan saat itu saya pernah punya keyakinan kalau pintar adalah segalanya. Nilai tinggi, ranking bagus, dan pujian dosen, semua itu saya anggap sebagai tolak ukur keberhasilan. Saya pikir dengan menghafal materi dan mengerjakan tugas tepat waktu, saya sudah cukup untuk melangkah maju. Namun, pengalaman mengajarkan saya hal lain yang jauh lebih penting yaitu kemampuan untuk bertahan.
Lingkungan kampus ternyata jauh lebih kompleks dari yang saya bayangkan. Ada tekanan waktu, beban tugas yang kadang terasa tak berujung, juga persaingan yang bikin stres. Saya ingat ketika saya merasa sangat lelah dan hampir putus asa menghadapi tumpukan tugas dan ujian yang datang berurutan. Pada titik itulah saya mulai menyadari bahwa kecerdasan intelektual saja tidak cukup. Saya harus mengasah kemampuan berpikir yang lebih luas dengan cara berpikir yang membuat saya tetap kuat dan konsisten menghadapi segala tantangan.
Kemampuan bertahan yang saya maksud bukan hanya soal tahan banting fisik, tapi lebih kepada ketahanan mental dan emosional. Saya belajar bagaimana mengelola tekanan, menjaga fokus, dan tetap tenang ketika segala sesuatunya tidak berjalan mulus. Saya mulai membiasakan diri untuk tidak panik ketika menghadapi masalah, melainkan mencari solusi dengan kepala dingin. Proses ini saya lakukan bukan hanya dengan belajar lebih giat, tapi juga dengan mempelajari bagaimana cara belajar yang efektif dan beradaptasi dengan perubahan.
Salah satu hal yang sangat membantu saya adalah kemampuan berpikir kritis dan reflektif. Daripada sekadar menghafal, saya berusaha memahami ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’ sebuah konsep bisa diterapkan dalam situasi nyata. Saya juga rutin melakukan evaluasi diri dengan memikirkan apa saja yang sudah saya kuasai, di mana kelemahan saya, dan bagaimana cara memperbaikinya. Cara berpikir ini membuat saya tidak cepat menyerah meski menghadapi materi yang sulit dan tuntutan akademik yang tinggi.
Selain itu, saya mulai menyadari pentingnya manajemen waktu dan menjaga keseimbangan hidup. Belajar memang penting, tapi terlalu memaksakan diri tanpa istirahat justru membuat saya rentan stres dan mudah burnout. Saya menyisipkan waktu untuk olahraga ringan, ngobrol dengan teman, atau sekadar berjalan-jalan untuk menyegarkan pikiran. Kegiatan-kegiatan kecil ini ternyata sangat berpengaruh dalam menjaga semangat dan daya tahan saya dalam menjalani rutinitas akademik yang padat.
Saya juga tidak menutup mata terhadap kenyataan bahwa kegagalan adalah bagian dari proses belajar. Pernah suatu satu semester saya mendapat nilai yang jauh di bawah harapan. Saat itu, saya sempat kecewa dan merasa gagal. Tapi setelah berpikir ulang, saya memutuskan untuk tidak menyerah. Saya mulai mencari tahu apa yang salah dalam cara belajar saya, berdiskusi dengan dosen, dan mencoba metode baru. Sikap ini, yang lebih menekankan pada ketangguhan daripada sekadar kepintaran, membantu saya bangkit dan memperbaiki hasil di semester berikutnya.
Dari pengalaman saya, saya sadar bahwa ketahanan mental dan kemampuan berpikir adaptif menjadi dua pilar utama dalam menghadapi lingkungan kampus yang penuh dinamika. Jadwal yang berubah, gaya pengajaran yang beragam, hingga tekanan dari berbagai aspek sosial terkadang membuat mahasiswa harus cepat menyesuaikan diri. Kemampuan untuk berpikir fleksibel dan mencari jalan keluar ketika dihadapkan pada masalah tidak bisa dianggap remeh.
Ketahanan ini juga berkaitan erat dengan sikap positif. Alih-alih mengeluh atau merasa tertekan, saya belajar untuk memfokuskan energi pada solusi dan peluang. Saat menghadapi tugas berat atau ujian yang sulit, saya bertanya pada diri sendiri, “Bagaimana saya bisa mengatasi ini?” bukan “Kenapa saya harus menghadapi ini?” Cara berpikir seperti ini bukan hanya membuat saya lebih tahan banting, tapi juga memperkaya proses belajar dengan rasa optimisme dan semangat.
Lebih jauh, saya mengerti bahwa kemampuan berpikir di kampus tidak hanya berkaitan dengan kecerdasan intelektual. Aspek emosional dan sosial juga memainkan peran besar. Saya harus mampu berkomunikasi dengan baik, berkolaborasi dalam kelompok, dan menerima kritik dengan lapang dada. Semua ini saya anggap sebagai bagian dari berpikir kritis yang lebih utuh, yang menggabungkan pemahaman, refleksi, dan penerimaan terhadap berbagai sudut pandang.
Menurut saya lingkungan akademik saat ini memang menuntut kita untuk lebih dari sekadar menghafal dan menguasai teori. Kita harus mampu berpikir kritis, kreatif, dan adaptif. Mereka yang mampu melakukannya bukan hanya pintar secara akademik, tapi juga siap menghadapi tantangan di luar kampus, hingga tantangan dalam kehidupan nyata dan karier di masa depan.
Saya percaya, kemampuan bertahan dan berpikir adaptif adalah modal yang jauh lebih berharga daripada sekadar kemampuan mengingat dan menjawab soal ujian. Bertahan bukan berarti hanya bertahan secara fisik, tapi lebih kepada bagaimana kita terus maju meskipun ada hambatan dan kegagalan. Bertahan berarti belajar dari pengalaman, memperbaiki diri, dan menjaga semangat tanpa kehilangan fokus.
Pengalaman saya ini semoga menjadi pengingat bahwa kemampuan berpikir dalam lingkungan akademik saat ini harus selalu diiringi kemampuan bertahan. Ketika kita sudah bisa bertahan menghadapi tekanan dan tantangan, kita bukan hanya sekadar pintar, tapi benar-benar siap menapaki masa depan dengan lebih percaya diri dan tangguh