Pertanian Organik, Gaya Hidup atau Solusi Nyata Untuk Ketahanan Pangan?

Kamis, 19/06/2025 - 18:31
Foto Ilustrasi Pertanian Organik

Foto Ilustrasi Pertanian Organik

Oleh:  Alicia Navia Arum (mahasiswa dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Program Studi Agribisnis, Fakultas Sains dan Teknologi)

Di tengah hiruk-pikuk perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan kekhawatiran akan masa depan pasokan pangan global, pertanian organik muncul sebagai harapan. Bagi sebagian orang, praktik ini merupakan pilihan gaya hidup, cerminan dari kesadaran mereka akan kesehatan pribadi dan dampak terhadap lingkungan. Mereka bersedia membayar lebih mahal untuk produk berlabel “organik” di supermarket, karena percaya bahwa mereka adalah bagian dari gerakan yang lebih besar.

Namun, bagi sebagian orang lainnya, pertanian organik lebih dari sekadar tren sesaat atau simbol status; pertanian organik merupakan respon yang tulus dan esensial terhadap tantangan ketahanan pangan yang semakin kompleks. Dengan demikian, muncul pertanyaan: di manakah posisi pertanian organik di antara kedua perspektif ini? Apakah pertanian organik hanya merupakan pilihan pribadi kaum elit, atau memiliki potensi transformatif untuk menghidupi miliaran orang di masa depan?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus menggali lebih dalam tentang inti dari pertanian organik. Lebih dari sekadar menghindari pestisida dan pupuk sintetis. Pertanian organik berusaha untuk berkolaborasi dengan alam dan bukannya melawan alam. Pendekatan ini mencakup pemeliharaan kesuburan tanah melalui praktik-praktik seperti rotasi tanaman, pupuk hijau, dan pengomposan. Hal ini juga melibatkan promosi keanekaragaman hayati dengan membudidayakan berbagai tanaman dan mendorong serangga dan organisme tanah yang bermanfaat untuk berkembang. 

Penting juga untuk menyoroti fakta bahwasannya pemerintah Indonesia telah menargetkan pangsa pangan organik mencapai 20% pada tahun 2024 sebagai bagian dari sebuah program prioritas nasional untuk memperkuat ketahanan pangan. Upaya ini tentu saja melibatkan berbagai kementerian dan lembaga, seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, BPOM, dan Badan Pangan Nasional, yang nantinya akan berkoordinasi dalam penyusunan kebijakan, sertifikasi, dan pengawasan pangan organik.

Hal ini menjadi bukti bahwa pertanian organik bukan sekedar tren, melainkan bagian dari strategi nasional untuk menjamin ketersediaan dan kualitas pangan di masa yang akan datang,. Ditingkat lokal, contoh nyata dapat dilihat di Desa Tanjungsari dan Tenjolayar, di mana penerapan pertanian organik telah meningkatkan stok pangan, menciptakan lapangan kerja baru, dan mengurangi ketergantungan pada bahan kimia sistesis. Program semacam ini menunjukkan bahwa pertanian organik mampu memperkuat ketahanan pangan desa, bahkan di tengah tantangan global seperti perubahan iklim dan krisis pangan.

Pertanian konvensional yang mengandalkan pupuk dan pestisida kimia juga telah terbukti merusak tanah, mencemari air, dan mengurangi keanekaragaman hayati. Namun sebaliknya, pertanian organik justru memprioritaskan kesehatan tanah melalui rotasi tanaman, penggunaan pupuk hijau, dan pengomposan. Praktik ini dapat menjaga kesuburan tanah, meningkatkan kapasitas untuk penyerapan air, dan memperkuat ekosistem mikroba yang penting untuk produktivitas jangka panjang. Data menunjukkan bahwa tanah organik mampu menyimpan lebih banyak karbon dan air, sehingga lebih tahan terhadap kekeringan dan banjir yang menjadi ancaman utama akibat perubahan iklim. 

Dari sisi kesehatan, produk organik umumnya mengandung residu pestisida yang jauh lebih rendah. Anak-anak dan kelompok rentan sangat diuntungkan dari konsumsi pangan organik karena dapat terhindar dari paparan bahan kimia berbahaya yang dapat memicu gangguan kesehatan jangka panjang. Selain itu, hasil pertanian organik sering kali memiliki kandungan vitamin, mineral, dan antioksidan yang lebih tinggi, sebagaimana dibuktikan oleh beberapa penelitian di desa-desa yang telah mengadopsi sistem ini.

Selanjutnya, ketahanan pangan lokal dan regional. Pertanian organik sering kali beroperasi dalam sistem pangan lokal, seperti pasar petani dan komunitas yang mendukung pertanian (CSA). Ini mengurangi ketergantungan pada rantai pasokan global yang rentan terhadap gangguan, seperti yang kita saksikan selama pandemi. Mendorong petani kecil dan menengah untuk mengadopsi teknik organik dapat memberdayakan komunitas pedesaan, menciptakan lapangan kerja, dan memastikan masyarakat memiliki akses ke makanan sehat dan bergizi yang diproduksi secara lokal.

Namun, penting untuk dicatat bahwa pertanian organik juga menghadapi kritik dan tantangan serius yang harus diatasi jika ingin diakui sebagai solusi global. Salah satu kritik utama adalah hasil panen yang lebih rendah dibandingkan dengan pertanian konvensional. Data menunjukkan bahwa, untuk beberapa jenis tanaman, hasil pertanian organik memang lebih rendah, yang menimbulkan kekhawatiran mengenai kemampuannya untuk memberikan makanan bagi populasi dunia yang terus meningkat.

Namun, para pendukung berpendapat bahwa perbedaan hasil ini seringkali diperkecil atau bahkan hilang dalam sistem yang terintegrasi dan dikelola dengan baik, terutama dalam kondisi yang kurang ideal atau di bawah tekanan iklim. Selain itu, hasil panen dalam jangka panjang sering kali diabaikan. Tanah yang terdegradasi akibat pertanian konvensional pada akhirnya akan menghasilkan lebih sedikit, sedangkan tanah organik yang subur dapat mempertahankan produktivitasnya selama beberapa dekade. 

Tantangan lain yang dihadapi adalah biaya produksi yang lebih tinggi. Kebutuhan akan tenaga kerja yang lebih intensif, manajemen hama dan gulma yang lebih kompleks tanpa penggunaan bahan kimia sintetis, serta periode transisi untuk sertifikasi organik sering mengakibatkan peningkatan biaya produksi. Hal ini terlihat dalam harga produk organik yang lebih tinggi di pasar, menjadikannya kurang terjangkau bagi sebagian besar masyarakat. Akibatnya, ini bisa dianggap sebagai “gaya hidup” bagi mereka yang mampu, bukan kebutuhan esensial untuk semua. Solusi untuk isu ini mungkin terletak pada subsidi pemerintah, insentif, dan pengembangan teknologi organik yang lebih efisien untuk menekan biaya produksi. 

Pada akhirnya, perdebatan mengenai apakah pertanian organik merupakan gaya hidup atau solusi yang nyata mungkin bukanlah masalah yang sederhana. Keduanya bisa jadi benar secara bersamaan. Bagi individu yang peduli dengan kesehatan dan lingkungan, memilih produk organik benar-benar mencerminkan pilihan gaya hidup yang sesuai dengan nilai-nilai mereka. Ini adalah bentuk konsumsi yang etis, mendukung praktik pertanian yang lebih baik. Namun, potensi pertanian organik jauh melampaui preferensi konsumen individu. 

Sebagai solusi konkret untuk ketahanan pangan, pertanian organik menyediakan kerangka kerja yang efektif untuk menciptakan sistem pangan yang lebih berkelanjutan, kuat, dan adil. Ini merupakan model yang menekankan kesehatan tanah, keanekaragaman hayati, dan kesejahteraan komunitas. Walaupun tantangan terkait hasil panen dan biaya produksi memang ada, masalah ini dapat diatasi dengan investasi dalam penelitian, kebijakan yang mendukung, dan program edukasi yang komprehensif. Mendorong para petani beralih ke praktik organik, memberikan insentif, serta mengembangkan infrastruktur pasar yang mendukung produk organik merupakan langkah-langkah yang sangat penting. 

Mungkin apa yang kita butuhkan adalah kombinasi sebuah sistem yang memadukan prinsip-prinsip pertanian organik dengan inovasi dan efisiensi yang diperlukan untuk produksi dalam skala besar, sembari tetap mengurangi ketergantungan pada input kimia yang merusak. Ini bisa mencakup penerapan praktik konservasi tanah secara luas dalam pertanian organik, atau menciptakan varietas tanaman yang secara alami lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit, sehingga mengurangi kebutuhan akan pestisida.

Tags

Berita Terkait